Friday, May 24, 2013

Kisah Joki Penunggang Kuda di Bima, NTB

Pacuan kuda di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), salah satunya di Kabupaten Bima sudah menjadi tradisi. Namun tradisi tersebut selalu melibatkan anak-anak berumur 7–12 tahun. Merekalah para joki, yang bakal menentukan kemenangan seekor kuda pacu. Anak-anak yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah dasar di kelas 3 sampai 5 itu benar-benar mahir mengendalikan kuda. Namun sesungguhnya agak miris melihat mereka dengan tubuh kecilnya harus bertahan di atas kuda setinggi rata-rata 1,2 m yang melaju kencang mengitari sebuah arena kuda pacu sepanjang 1.400 m.


Adalah Hendra, salah satu joki kuda pacu tersebut. Umur Hendra baru menginjak 7 tahun pada Januari 2013 silam. Namun jangan tanya jam terbangnya sebagai joki. Sudah 2 tahun kelahiran Kecamatan Woha di Kabupaten Bima tersebut terjun menjadi joki. Andai pilot diukur berdasarkan jumlah jam terbang, para joki kecil seperti Hendra diukur dari seberapa banyak ia menunggang kuda di arena pacu dan tentunya kemenangan yang diraih kuda-kuda tungganganya. Meskipun tidak pernah mencatat, Hendra menuturkan ia sudah menang beberapa kali di berbagai kelas kuda yang pemiliknya membutuhkan jasanya.

Nah jam terbang itu pula yang menentukan bayaran yang diterima. Hendra, misalnya, dibayar sampai Rp50.000 per putaran arena pada saat latihan. Padahal dalam sekali latihan, Hendra minimal bisa 3–5 kali mengitari arena, terkadang dengan kuda pacu berbeda. Jumlah itu bisa melambung 2–3 kali lipat di saat lomba kuda pacu sesungguhnya. Bahkan di lomba besar dan bergengsi seperti Piala Gubernur, misalnya, ia akan meneken kontrak yang nilainya cukup besar. Dari pekerjaannya sebagai joki tersebut setiap bulan Hendra bisa membantu ekonomi orangtuanya yang hanya berprofesi sebagai penarik benhur (sebutan delman di Pulau Sumbawa).

Meskipun bisa memperoleh pendapatan besar di usia sangat muda itu, sesungguhnya pengorbanan Hendra terlampau besar untuk seumurannya, mengingat banyak syarat yang harus dipenuhi. Syarat pertama ia tidak boleh takut kepada kuda. Hendra juga harus cepat mengenal karakter sang kuda, biasanya dilakukan dengan cara mengajak si kuda mengitari arena minimal 1–2 kali putaran. Ia juga harus siap jatuh terpelanting dari kuda. Soal ini Hendra sudah merasakan 2 kali mengalami tulang rusuknya patah. Belum lagi ia harus menahan sakit saat berpacu dengan lawannya di atas kuda pacu yang samasekali tanpa pelana. Hal itu belum menghitung membolos sekolah bila lomba kuda pacu berlangsung berhari-hari.

Belajar dari pengalamannya jatuh terpelanting, Hendra sejak setahun lalu mempunyai ritual khusus sebelum menaiki sang kuda pacu. Ia akan meraup tanah di dekat kuda pacu tunggangannya dengan kedua tangannya. Setelah itu ia buru-buru mengusapkan tanah di tangannya tersebut di leher sang kuda, sebelum menaiki punggung kuda. Dengan ritual itu pula Hendra yakin bisa mengatur sang kuda. Nah, bila si kuda mau diatur, keselamatan dirinya akan lebih terjamin.

Sumber: http://log.viva.co.id/news/read/403764-kisah-joki-pacuan-kuda-di-bima

Ads

0 Responses to “Kisah Joki Penunggang Kuda di Bima, NTB”

Post a Comment

Harap tidak mencantumkan live link. Jika dicantumkan maka komentar akan kami delete.

All Rights Reserved Dianacakes | Blogger Template by Bloggermint