Friday, May 24, 2013
Kuda Bima, Dahulu dan Sekarang
Do you like this story?
Sejak Abad XII Masehi, kuda asal Bima sudah tersohor di
Nusantara. Saat itu, para pedagang dari berbagai penjuru datang membeli
kuda bima, kemudian dijual di negeri asalnya untuk dijadikan tunggangan
para raja, bangsawan, dan panglima perang.
Raja-raja dan panglima perang Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit, dalam buku Negarakertagama karangan Empu Prapanca, juga selalu memilih kuda bima untuk memperkuat armada kavalerinya.
Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) I Made Purna mengingatkan kenangan itu saat berbicara dalam seminar yang membahas secara khusus tentang kuda bima yang merupakan rangkaian Bulan Citra Budaya NTB XVII di Bima, Senin pekan lalu.
Salah satu keturunan Sultan Bima, Hj Siti Maryam R Salahudin (83), memperkuat kenangan lama itu. Menurut dia, di masa lampau, kuda bima juga berperan penting memperkuat angkatan perang Kerajaan Kesultanan Bima.
Para Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pun sering meminta dikirimi kuda bima, yang dinilai sebagai jenis kuda terbaik di Kepulauan Hindia Belanda. Kuda bima dinilai sebagai sarana transportasi yang tangguh karena kuat membawa beban hasil panen, tahan cuaca panas, serta jinak.
”Layaknya sepeda motor sekarang, dulu jika suami-istri bepergian jauh, berboncengan menumpang kuda (jara kapa nae–kuda berpelana besar),” kenang Maryam.
Dalam Nota Penjelasan Perjanjian Politik antara Kerajaan Bima dan Gubernur Sulawesi, DP Van Braam Morris, tertanggal 20 Desember 1886, tercatat bahwa kuda bima pernah dikirim ke Sulawesi dan Jawa. Jumlahnya mencapai 1.000 sampai 1.500 ekor per tahun. Saat itu, harga kuda tertulis 40-50 poundsterling, sedangkan harga lokal di Bima saat itu 15-25 poundsterling per ekor.
Tercatat juga pernah ada seorang pangeran dari Madura yang memesan beberapa kuda kepada Sultan Abdul Kadim, Sultan Bima Ke-8 (abad ke-18). Ketika itu, Kesultanan Bima memiliki ranch, tempat pemeliharaan kuda di Desa Wera, Lambu, Kangga, Paile, Sangeang Darat, Sangeang Api, dan Poja.
Sedemikian akrabnya orang Bima dengan kuda, sampai kini pun banyak cerita soal kuda yang berkembang di masyarakat. Kuda bima bahkan juga sudah dijadikan simbol pantang menyerah, mau hidup prihatin, dan berjuang demi mencapai tujuan. Kuda bima juga jinak, tidak mau dikasari, dan akan tunduk jika diperlakukan secara lembut.
Lain sekarang
Kini, kuda bima di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, NTB, kian terancam kelestariannya. Keberadaan kuda bima sudah terdesak oleh kuda jenis lain, seperti sandalwood dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang banyak dipelihara dan dikembangkan sebagai kuda pacu.
”Tahun 2009 lalu, sedikitnya ada 20 ekor kuda sumba masuk ke Bima setiap sepuluh hari sekali, sedangkan upaya pelestarian kuda lokal bima belum terlihat nyata,” ujar Said Abdullah, penggemar kuda bima.
Kuda bima bentuk badannya pendek. Tinggi badan kuda bima usia 1 tahun-3 tahun rata-rata 110 sentimeter-113 cm, kuda usia 4 tahun-8 tahun setinggi 114 cm-117 cm, kuda dewasa (usia 10 tahun ke atas) adalah 119 cm-120 cm. Namun, kuda bima memiliki daya tahan tubuh yang baik dan langkah cepat.
Masuknya kuda sandalwood ke Bima itu tidak terbendung karena Kabupaten Bima bertetangga dengan Pulau Sumba sebagai tempat asal kuda sandalwood. Selain transportasi yang mudah, animo para pejabat dan kalangan berduit di Bima mencari kuda sandalwood sangat tinggi untuk dilombakan pada pacuan kuda yang menjadi tradisi masyarakat daerah itu.
”Jangan sampai kuda bima senasib dengan kuda poni yang kini sulit ditemukan di Sumbawa (meliputi Kabupaten Bima, Dompu, Sumbawa, dan Sumbawa Barat),” ujar Said Abdullah khawatir.
Menurut Said Abdullah, sesungguhnya penangkaran kuda bima sangat mungkin dikembangkan mengingat teknologi ataupun sumber daya manusia tersedia di NTB. ”Cuma pemerintah memiliki skala prioritas tidak?” katanya.
H Adnan Abdullah yang banyak melakukan kawin silang antara kuda bima (betina) dan sandalwood (jantan) dalam tiga tahun ini berpandangan, kawin silang justru akan melestarikan plasma nutfah kuda lokal, juga menghasilkan kuda keturunan yang tangguh, bertenaga, memiliki kecepatan lari (didapat dari induknya), serta fisik memadai (didapat dari pejantan) sebagai kuda pacu.
Sayangnya, pemerintah provinsi (pemprov) belum memiliki data lengkap soal kuda bima ataupun kuda dari luar yang masuk. Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan NTB Aminurrahim ketika ditanya soal ini hanya menunjukkan data populasi kuda secara menyeluruh di NTB.
Menurut dia, populasi kuda di NTB tahun 2009 berjumlah 77.847 ekor. Dari jumlah tersebut, 16.873 ekor berada di Pulau Lombok, sisanya 60.964 ekor di Pulau Sumbawa. Populasi kuda di NTB ini, menurut dia, masih menduduki 20 persen dari populasi kuda secara nasional yang berjumlah 398.000 ekor.
Soal kawin silang kuda bima dengan sandalwood, Aminurrahim membenarkan, sama sekali bukan halangan. Dengan sistem penangkaran yang baik, kuda bima merupakan sumber plasma nutfah, sebab tangguh sebagai hewan kerja, tahan cuaca panas, dan relatif jinak. Keunggulan kuda bima, betinanya terutama, apabila dikawinsilangkan dengan pejantan sandalwood (Sumba, NTT, tinggi 127 cm) dan thoroughbred (dari Inggris, tinggi 176 cm-178 cm), yang postur tubuhnya lebih besar dan kekar, bisa menghasilkan kuda pacu yang andal.
”Teknologinya kita sudah punya, sumber daya manusia kita juga tersedia, hanya tinggal soal waktu untuk mewujudkannya. Pemprov NTB kini, sesuai skala prioritas, menggarap perbanyakan sapi bali lewat program ’Bumi Sejuta Sapi’. NTB menjadi sumber plasma nutfah sapi bali,” paparnya.
Lalu Gita Aryadi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB, berharap kuda bima bisa dijadikan ikon pembangunan pariwisata. Bima bersama kabupaten tetangganya (Kota Bima, Dompu, Sumbawa, dan Sumbawa Barat), di antaranya diangkat lewat lomba pacuan kuda (pacoa jara), seperti kebiasaan masyarakat etnis Mbojo (Bima dan Dompu) selama ini. ”Ingat kuda ingat Bima, ingat Bima ingat kuda,” begitu ujarnya.
Mudah-mudahan kekhawatiran kuda bima yang terancam punah tidak segera terjadi. Kalau itu terjadi, kuda bima hanya bisa diingat, tidak lagi bisa dilihat.
Sumber: kompas.com
Ads
Artikel Terkait:
Info
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Responses to “Kuda Bima, Dahulu dan Sekarang”
Post a Comment
Harap tidak mencantumkan live link. Jika dicantumkan maka komentar akan kami delete.